Langsung ke konten utama

Badui

Ngak kebayang kalau ternyata pengalaman ke desa suku badui itu jadi pengalaman hidup yang sangat berharga dan keren banget. 

Di tahun 2024 ini masih ketemu orang yang baru tau apa itu suku badui dan terpukau sama cerita ada desa suku badui di Banten. 

Dimanaa... aku pernah ke desa suku Badui Luar dan bahkann.. menginap 1 malam di desa suku Badui Dalam saat SMA, di kira-kira tahun 2005. 

Saat itu di SMA, acara study etnografi seperti itu bukan hal yang luar biasa, bersinggungan dengan alam juga bukan hal yang mewah. Kita berkumpul di pagi hari di sekolah dengan bawa tas ransel untuk persiapan menginap, di saat itu HP belum terlalu familiar walaupun HP dengan kamera sudah mulai banyak di jaman itu. Namun entah kenapa, ga ada memory tersisa pernah ambil foto saat trip tersebut. 

Perjalanan dari sekolah sampai ke parkiran dekat Badui Luar terasa seperti perjalanan dari Jakarta ke luar kota terdekat yang sering dilakukan warga saat itu, seperti Jakarta ke Puncak, Jakarta ke Bogor, Jakarta ke Bandung, terasa cukup jauh tapi ga sampai bosan.

Sesampainya di parkiran kita berjalan sampai ke desa Badui Luar, kami bertemu dengan warga yang menggunakan tutup kepala berwarna keputih-putihan dengan sarungnya, namun atasan yang dipakai ada yang setipe kain katun berwarna polos dan ada yang menggunakan kaos. Ada yang menggunakan kaos partai, kaos band, dan motif lainnya. Sepertinya mereka yang menggunakan kaos kebanyakan memilih kaos yang digunakan ga berdasarkan pilihan fashion atau kesukaan, tapi lebih ke apa aja yang ada bisa di pakai. 
Selain mereka yang seadanya, juga ada beberapa anak laki-laki muda yang "mau melek dunia". Di imajinasi aku, sepertinya strugle sekali saat bertumbuh dikesempatan untuk mengetahui dunia luar namun tinggal di daerah yang memilih untuk tidak terbuka dengan perkembangan dunia luar. Tatapan mereka ke kami anak SMA Jakarta seperti iri namun kami punya pride kami sendiri. 

Di Badui Luar kami beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Badui Dalam. 
Tanpa tau seperti apa perjalanan ke sana, berapa lama, dan medannya seperti apa, seingatku kami happy happy saja dan bersiap untuk apapun. Beda sekali dengan di tahun tahun sekarang ini, dimana mau kemana-mau kita cari tau semua hal sampai dengan video dari orang-orang yang sudah melakukan perjalanan tersebut. Dimana sense of surprisenya hampir hilang.

Kami trekking melewat sungai, entah apa alas kaki yang aku pakai awalnya tapi aku ganti denngan sandal swallow dan selaput antara Ibu jari dan telunjuk kakiku robek dan berdarah, tapi belum sampai juga, jadi tetap di pakai dengan tambal alakadarnya. 
Sampai akhirnya sampai di Badui Dalam melepas capek, lalu tersadar rasanya seperti masuk ke set acara televisi yang bertema kerajaan-kerajaan di Indonesia. 

Kami di 1 area lingkungan beberapa rumah yang membentuk 1 area terbuka yang terpusat. Kami dikumpulkan diarea tersebut, diterima oleh warga sana termasuk dengan kepala suku nya. Saat itu kepala suku tersebut baru diangkat, menggantikan tetua sebelumnya, jadi kepala suku saat itu terhitung cukup muda, bahkan sangat ingat kami sepakat kalau kepala suku tersebut sangat mirip dengan artis kenaam saat itu, restu Sinaga! 

Tidak terlalu ingat merek menyampaikan apa, namun intinya mereka menerima keberadaan kami di desa mereka, namun mari kita saling menghargai, termasuk menghargai dan mematuhi aturan mereka. Saat dekat dengan kepala suku, aku sangat berusaha tidak memikirkan apa-apa, karena yang yang info kalau kepala suku bisa membaca pikiran manusia. 

Setelah selesai penyambutan dan perkenalan tersebut kami di arahkan ke rumah penduduk dengan kelompok yang sudah ditentukan. 

Di sisa hari itu aku tidak memutuskan mandi, hanya seka, buang air dan lainya di sungai. Benar-benar tidak ada HP di saat itu, di desa tidak ada listrik atau barang berteknologi di sana. 
Aku dan teman teman kelompok setelah bebersih diri dan berkumpul di rumah penduduk yang menerima kami, kami mulai bercerita dan bercanda. Waktu berjalan dan langit mulai menggelap perlahan. Di saat langit belum terlalu gelap, datanglah serangga ini yang sangat menyisakan memory terkesima dan bahagia. Kunang-kunang beterbangan melewati kami seperti normalnya nyamuk atau ada di sekitar kita di malam hari di Jakarta. Namun ini masih belum gelap dan kunang-kunang beterbangan sangat dekat diantara kami. Gak pernah aku bayangkan ini ada di dunia nyata, seperti efek di fillm-film. 
Semakin malam, semua semakin gulita, cahaya hanya ada dari lampu petromak yang hanya seadanya saja, tidak diletakan di jalan-jalan sebagi penerangan. Di dalam rumah juga di area kami hanya 1. Kami di sediakan tempat di lantai di dalam rumah untuk kami tidur bersama ala ikan pepes. Sebelum tidur kami sempat berbincang beberapa topik dengan kepala keluarga ruamh yang kami tumpangi, namun sayang sekali memory itu sudah lenyap di otak aku. Saat jam tidur, lampu petromak dimatikan, jeng jeng.. hitam sehitam hitamnya pengelihatan aku. Walau dinding/ pintu rumahnya masih ada sela-sela atau bolong-bolong, aku tidak bisa lihat ada sesuatu yang tidak pekat sedikit pun. Untuk hari itu perjalanan cukup melelahkan, jadi bisa tidur tanpa overthinking terlalu lama. 

Saat bangun pagi, seperti desa pada umumnya udara segar dan banyak warga sudah beraktifitas. 
Aku sudah ga bisa tahan lagi untuk ga mandi dan buang air. Ternyata di Badui dalam ada kelompok atau sekolah lain yang menginap di sana namun semalam disuruh keluar dari desa saat itu juga. Gosip yang aku terima adalah salah satu dari mereka pakai odol untuk menggosok gigi. 

Di Badui Dalam, mereka sangat menghormati alam, mereka dan tamu mereka dilarang keras menggunakan consumable yang kimia yang limbahnya kita tinggalkan di desa mereka.

Akhirnya aku ke spot sungai yang digunakan untuk mandi dan buang air. Sesampainya di sana, aku melewat perempuan Badui menggunakan kemben sedang keramas. Keramas, tapi ga berbusa. Rambutnya panjang dan bagus, dia hanya pakai lerak untuk rambutnya. Dia keramas di pinggir sungai dengan sebagian bada di dalam sungai, dari jarak beberapa meter aku masih terpukau dengan dia, aku lihat ada hajat manusia yang lewat di seberang sungai. Sungguuh se-natural itu situasinya. Selain bebersih langsung di sungai, di desa itu ada bilik alakadarnya yang dekat dengan sumber air, disitulah kita bisa siram siram badan dengan lebih terasa aman. 

Yang aku pikirkan, ternyata tanpa sabun cuci muka dengan formula fancy manusia manusia ini punya kulit wajah sangat bagus juga badan bersih, gigi bersih, dan rambut bagus. Jadi sebenernya kehidupan modern itu, apakah skin/ body care itu dibuat untuk membalance apa yang sudah tidak sehat didunia tersebut. Karena di Badui Dalam ini, tidak ada sama sekali kehidupan modern, tapi kulit dan rambut mereka bagus sekali. 1 hal yang aku lupa untuk aku tanyakan, bagimanakah cara mereka gunting kuku, apakah gunting kuku diperbolehkan digunakan atau tidak, karena aku ga liat kuku yang hitam-hitam atau panjang menyeramkan. 

Aku juga ngak ingat sama sekali makan apa di sana, tapi yang pasti kami makan dari yang mereka siapkan. Kegiatan di Badui Dalam lancar, tanpa ada drama anggota kami yag melanggar aturan, di hari itu kami jalan kembali ke Badui Luar. Seingat aku, kaki aku sudah baik-baik saja untuk berjalan ke sana. Untuk hitungan anak kota, rasanya gak sabar untuk sampai rumah, mandi dengan sabun dan tidur di kasur empuk. 

Diperjalanan pulang di bisa, aku lebih memperhatikan perjalanan dibanding saat meninggalkan Jakarta. Dari pengalaman 2 hari 1 malam yang aku lalui, perjalanan kembali ke Jakarta rasanya seperti melewati lorong waktunya Doraemon, hanya dalam beberapa jam (ingat perjalanannya seperti hanya keluar kota terdekat dari Jakarta) kami menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Perjalanan memasuki Jakarta dari bis juga seolah seolah perjalanan kembali ke permukaan, ke habiatatku yang sesungguhnya. 

Aku pernah tinggal di desa di Jawa Tengah dalam 1 bulan, pernah tinggal beberapa malam untuk Latihan Dasar Kepemimpinan dan Ospek. Tapi sungguh, perjalanan dan mengingap di Badui Dalam ini sangat berbeda, karena mereka memang bukan hanya desa tanpa teknologi, tapi komitmen dari warganya yang membuat suasana, fasilitas, dan alamnya memberikan pengalaman yang sangat berbeda. 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dimensi Kesadaran Manusia dan Waktu

Dimensi kesadaran manusia dan waktu Sebelum menyinggung dimensi kesadaran manusia, mari kita samakan persepsi makna dari WAKTU. Dimana memang tidak ada yang benar-benar mampu menelurusi, memahami dan memaparkan WAKTU. Waktu bagi saya adalah suatu linimasa yang terus dijejaki , berpacu maju dan hanya mampu di tapak tilas dalam batas awam. Dimensi kesadaran manusia memiliki lapisan yang tak dapat dihitung. Seberapa banyak lapisan dimensi yang dapat dirasakan tergantung dari setiap individunya. Namun pilot armada yang menerobos lapisan-lapisan dimensi kesaadaran dalam jagad raya diri saya tidak dapat saya identifikasi. Tidak saya kenali, pahami, apalgi untuk saya control. Saat di tengah riuh gurauan, rasanya tiba-tiba ada sebuah pesawat yang lepas landas dari Lapisan terdalam, melesat cepat menyembul diantara awan kesadaran lapisan teratas, masa realita. Seperti terbangun dari masa lalu dan berusaha mengenali keadaan sekitar. Berlalu beberapa detik kemudian melebur bersama pantulan-pantul